mandikan aku bunda - SEMANGAT
Headlines News :
Home » » mandikan aku bunda

mandikan aku bunda

Written By Unknown on Sunday, June 28, 2009 | 12:13 PM

Sebuah tulisan yang begitu terharu ketika aku membacanya, sehingga linangan air mata tidak tersadarkan hadir di pelupuk. Begitu sibuknya keseharian kita, Begitu pentingnya sebuah materi, harta, jabatan, karier….. tapi lebih penting adalah keluarga terutama anak. Tulisan ini membuat betapa berdosanya kita (orang tua -ibu-) ketika lalai bahwa “dia” butuh sentuhannya…. sehingga kadang isyarat dari “dia” pun kita alpa. Mudah-mudahan tulisan ini banyak memberi manfaat bagi kita sebagai orang tua, terutama adalah figur kelembutan, kasih sayang -ibu-.

anak_kita

Rani, sebut saja begitu namanya. Kawan kuliah ini berotak cemerlang dan memiliki idealisme tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik, di bidang akademis maupun profesi yang akan digelutinya. “Why not the best,” katanya selalu, mengutip seorang mantan presiden Amerika.


Ketika Universitas mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit Utrecht, Belanda, Rani termasuk salah satunya. Saya lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran. Berikutnya, Rani mendapat pendamping yang “selevel“, sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi.

Alifya, buah cinta mereka, lahir ketika Rani diangkat sebagai staf diplomat, bertepatan dengan tuntasnya suami dia meraih PhD. Lengkaplah kebahagiaan mereka. Konon, nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah “alif” dan huruf terakhir “ya“, jadilah nama yang enak didengar: Alifya. Saya tak sempat mengira, apa mereka bermaksud menjadikannya sebagai anak yang pertama dan terakhir.

Ketika Alif, panggilan puteranya itu, berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin menggila. Bak garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain. Setulusnya saya pernah bertanya, “Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal?” Dengan sigap Rani menjawab, “Oh, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya. Everything is OK!” Ucapannya itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter mahal. Rani tinggal mengontrol jadwal Alif lewat telepon. Alif tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas dan gampang mengerti.

Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang kehebatan ibu-bapaknya. Tentang gelar dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan uang yang banyak. “Contohlah ayah-bunda Alif, kalau Alif besar nanti.” Begitu selalu nenek Alif, ibunya Rani, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.

Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau dia minta adik. Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Rani dan suaminya kembali menagih pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini “memahami” orang tuanya. Buktinya, kata Rani, ia tak lagi merengek minta adik. Alif, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek. Bahkan, tutur Rani, Alif selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Rani menyapanya “malaikat kecilku“. Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya super sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam, saya iri pada keluarga ini.

Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak dimandikan baby sitter. “Alif ingin Bunda mandikan,” ujarnya penuh harap. Karuan saja Rani, yang detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, gusar. Ia menampik permintaan Alif sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Alif agar mau mandi dengan Tante Mien, baby sitter-nya. Lagi-lagi, Alif dengan pengertian menurut, meski wajahnya cemberut.

Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan. “Bunda, mandikan aku!” kian lama suara Alif penuh tekanan. Toh, Rani dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Alif sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Alif bisa ditinggal juga.

Sampai suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. “Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency.” Setengah terbang, saya ngebut ke UGD. But it was too late. Allah swt sudah punya rencana lain. Alif, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh-Nya.

Rani, ketika diberi tahu soal Alif, sedang meresmikan kantor barunya. Ia shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan putranya. Setelah pekan lalu Alif mulai menuntut, Rani memang menyimpan komitmen untuk suatu saat memandikan anaknya sendiri.

Dan siang itu, janji Rani terwujud, meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku. “Ini Bunda Lif, Bunda mandikan Alif,” ucapnya lirih, di tengah jamaah yang sunyi. Satu persatu rekan Rani menyingkir dari sampingnya, berusaha menyembunyikan tangis.

Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri mematung di sisi pusara. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu, berkata, “Ini sudah takdir, ya kan. Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, ya dia pergi juga kan?” Saya diam saja. Rasanya Rani memang tak perlu hiburan dari orang lain. Suaminya mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pias, tatapannya kosong. “Ini konsekuensi sebuah pilihan,” lanjut Rani, tetap mencoba tegar dan kuat. Hening sejenak. Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja.

Tiba-tiba Rani berlutut. “Aku ibunyaaa!” serunya histeris, lantas tergugu hebat. Rasanya baru kali ini saya menyaksikan Rani menangis, lebih-lebih tangisan yang meledak. “Bangunlah Lif, Bunda mau mandikan Alif. Beri kesempatan Bunda sekali saja Lif. Sekali saja, Aliiif..” Rani merintih mengiba-iba. Detik berikutnya, ia menubruk pusara dan tertelungkup di atasnya. Air matanya membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Alif. Senja pun makin tua.

Sumber:
smanlaorganization

Ketika membaca tulisan ini air mataku mengalir dan bayangan anaku yang masih kecil muncul di depanku. Sejenak teringat kembali keputusan yang kuambil agar istriku mencari pekerjaan paruh waktu dan bisa mengasuh anak kami yang masih kecil. Tulisan ini aku ambilkan dari sebuah blog. Semoga bisa memberi inspirasi bagi kita terutama yang telah memiliki anak.
Share this article :

5 comments :

  1. subhanallah, kisah ini membawa perasaan mendalam, dan mengingatkan anakku di tanah seberang. ahh... mengaduk-aduk perasaan aku sebagai ayah. Membacanya memberiku komitmen untuk sesering mungkin menengok anakku. untuk sekedar menciumnya, memandikannya, atau mengajaknya bermain. Terima kasih bung jamil;

    ReplyDelete
  2. anak merupakan investasi masa depan.. Anak lebih berharga dari semua harta dan pekerjaan. Jadikan ini sebagai pelajaran buat kita semua...
    Banyak hikmahnya....

    ReplyDelete
  3. begitulah... setiap kisah selalu ada pelajaran yang bisa diambil

    ReplyDelete
  4. subhanallah, cerita yg luar biasa, yang selalu mengingatkan kpd kita para orang tua betapa pentingnya seorang anak dibanding apapun...namun betapa seringnya juga kita lupa...

    ReplyDelete
  5. padahal aku sudah berkali2 baca cerita tentang ini..tapi setiap baca pasti aku masih juga nangis..

    ReplyDelete

Terima kasih sudah membaca tulisan ini.

Saya akan sangat bergembira apabila anda berkenaan memberikan sedikit catatan komentar terhadap ide-ide yang anda dapatkan dari tilisan ini.

Apapun gagasan anda amat saya hargai dan akan saya kunjungi balik ke blog anda.

Terima kasih & Tetap SEMANGAT!!

VIDEO INSPIRASI

Template Information

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. SEMANGAT - All Rights Reserved
Original Design by Creating Website Modified by Adiknya